Proposal Softskill Bidadari Jannah
http://www.mediafire.com/view/lqfl9p31cklxmsu/Proposal_Bidadari_Jannah.pdf
welcome
Selasa, 05 Januari 2016
Minggu, 11 Oktober 2015
Tugas Softskill Etika Dalam Profesi Akuntansi
Etika Dalam Profesi
Akuntansi
Etika (Yunani
Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari
kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika
di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu
untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara
metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah
tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti
juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya
etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika
terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Dalam dunia lembaga akuntansi, ada
yang namanya kode etik profesi akuntansi, seorang akuntan profesional harus
memiliki Etika Profesi Akuntansi. di Indonesia, kode etik ini
di gawangi oleh organisasi profesi akuntansi, Ikatan Akuntan Indonesia ( IAI ),
Tujuan dari kode etik profesi akuntansi ini diantaranya adalah:
·
Untuk meningkatkan mutu organisasi
profesi.
·
Untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan para anggota.
·
Untuk menjunjung tinggi martabat
profesi
·
Untuk meningkatkan mutu profesi.
·
Untuk meningkatkan pengabdian para
anggota profesi
·
Meningkatkan layanan di atas
keuntungan pribadi.
·
Mempunyai organisasi profesional
yang kuat dan terjalin erat.
.Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia, meliputi 3 bagian:
1.
Prinsip Etika,
2.
Aturan Etika, dan
3.
Interpretasi Aturan Etika
Prinsip Etika Profesi Akuntan
1.
Tanggung Jawab Profesi.
Ketika
melaksanakan tanggungjawabnya sebagai seorang profesional, setiap anggota harus
mempergunakan pertimbangan moral dan juga profesional didalam semua aktivitas/kegiatan
yang dilakukan.
2.
Kepentingan Publik,
Setiap
anggota harus senantiasa bertindak dalam krangka memberikan pelayanan kepada
publik, menghormati kepercayaan yang diberikan publik, serta menunjukkan
komitmennya sebagai profesional.
3.
Integritas
Guna
menjaga dan juga untuk meningkatkan kepercayaan publik, tiap tiap anggota wajib
memenuhi tanggungjawabnya sebagai profesional dengan tingkat integritas yang
setinggi mungkin.
4.
Obyektivitas
Tiap
individu anggota berkeharusan untuk menjaga tingkat keobyektivitasnya dan
terbebas dari benturan-benturan kepentingan dalam menjalankan tugas kewajiban
profesionalnya.
5.
Kompetensi dan sifat kehati hatian profesional
Tiap
anggota harus menjalankann jasa profesional dengan kehati hatian, kompetensi
dan ketekunan serta memiliki kewajiban memepertahankan keterampilan profesional
pada tingkatan yang dibutuhkan guna memastikan bahwa klien mendapatkan manfaat
dari jasa profesional yang diberikan dengan kompeten berdasar pada perkembangan
praktek, legislasi serta teknik yang mutahir.
6.
Kerahasiaan
Anggota
harus menghormati kerahasiaan informasi selama melaksanakan jasa profisional
dan juga tak boleh menggunakan ataupun mengungkapkan informasi tersebut jika
tanpa persetujua terlebih dahulu kecuali memiliki hak ataupun kewajiban sebagai
profesional atau juga hukum untuk mengungkapkan informasinya.
7.
Perilaku Profesional
Tiap
anggota wajib untuk berperilaku konsisten dengan reputasi jang baik dan
menjauhi kegiatan/tindakan yang bisa mendiskreditkan profesi.
8.
Standar Teknis
Anggota
harus menjalankan jasa profesional sesuai standar tehknis dan standard
proesional yang berhubungan/relevan. tiap tiap anggota memiliki kewajiban
melaksanakan penugasan dari klien selama penugasan tersebut tidak berseberangan
dengan prinsip integritas dan prinsip objektivitas.
Contoh
kasus etika
Coca cola diduga manipulasi laporan pajak
WARTA KOTA, PALMERAH— Satu
lagi kasus penggelapan pajakyang melibatkan perusahaan kelas wahid. Kali ini
melibatkan salah satu perusahaan dalam kelompok Coca-Cola Company, yakni PT
Coca-Cola Indonesia (CCI). PT CCI diduga mengakali pajaksehingga
menimbulkan kekurangan pembayaran pajak senilai
Rp 49,24 miliar.
Sekarang kasus ini sedang dalam tahap banding di Pengadilan
Pajak. PT CCI mengajukan banding karena merasa sudah membayar pajak sesuai
ketentuan.
Kasus ini terjadi untuk tahun pajak 2002,
2003, 2004, dan 2006. Hasil penelusuran Direktorat Jenderal Pajak (DJP),
Kementerian Keuangan menemukan, ada pembengkakan biaya yang besar pada tahun
itu. Beban biaya yang besar menyebabkan penghasilan kena pajak berkurang,
sehingga setoran pajaknya pun mengecil.
Beban biaya itu antara lain untuk iklan dari rentang waktu
tahun 2002-2006 dengan total sebesar Rp 566,84 miliar. Itu untuk iklan produk
minuman jadi merek Coca-Cola.
Akibatnya,
ada penurunan penghasilan kena pajak.
Menurut DJP, total penghasilan kena pajak CCI
pada periode itu adalah Rp 603,48 miliar. Sedangkan perhitungan CCI,
penghasilan kena pajakhanyalah Rp 492,59 miliar. Dengan selisih itu, DJP
menghitung kekurangan pajak penghasilan (PPh) CCI Rp 49,24 miliar.
Bagi DJP, beban biaya ini sangat mencurigakan dan mengarah
pada praktik transfer pricing demi meminimalisir pajak.
Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi
pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, sehingga beban pajak berkurang.
Praktik ini bisa dideteksi jika ada kegiatan yang tak sesuai
dengan bisnis perusahaan. Produk PT CCI adalah konsentrat, bukan produk minuman
jadi. Namun, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar untuk iklan.
"Biaya iklan yang dibebankan oleh PT CCI tidak memiliki kaitan langsung
dengan produk yang dihasilkan," kata Edward Sianipar, perwakilan DJP di
persidangan, Kamis (12/6/2014).
Kasus Xerox : Masalah
Waktu Pengakuan Pendapatan
Pada tahun 2002, Securities and Exchange Commission (SEC)
mengajukan keluhan terhadap Xerox yang dianggap telah melakukan penipuan
terhadap publik pada tahun 1997 hingga tahun 2000 karena mencantumkan informasi
yang salah pada laporan keuangannya.
SEC menuduh manajemen Xerox mengetahui dan menyetujui
tindakan manipulasi laporan keuangannya untuk menyamakan target penjualan
dengan penjualan sebenarnya. Menghadapi gugatan dari SEC, Xerox tidak
melakukan pembelaan maupun pengakuan namun setuju untuk membayar denda US$ 10
juta dan memperbaiki laporan keuangannya untuk tahun 1997 hingga 2000. Pada
tahun 2003, enam manajemen senior Xerox dituduh melakukan penipuan, termasuk
mantan CEO dan CFO Xerox. Mereka juga tidak melakukan pembelaan maupun
pengakuan namun setuju untuk membayar denda US$ 22 juta.
Daftar
Pustaka
Rabu, 16 April 2014
TUGAS SOFTSKILL Bahasa Inggris Bisnis 2
Nama : Rioka Nefryangga H
NPM : 26211260
Kelas : 3EB16
TUGAS SOFTSKILL Bahasa Inggris Bisnis 2
EXERCISE 1 - ORAL
1. I saw the man. He closed the door.
- I saw the man that closed the door.
2. the girl is happy. She won the race.
- The girl is happy whose won the race.
3. the student is from china. he sits next to me.
- the student which form china sits next to me.
4. the students are from china. they sit in the front row.
- the students which are from china sit in the front row.
5. we are studying sentences. They contain adjective clause.
- we are studying sentences that contain adjective clause.
6. I am using a sentence. It contain an adjective clause.
- i am using the sentence that contain an adjective clause.
7. Algebra problems contain letters. They stand for unknown numbers.
- Algebra problem contain letters that stand for unknown numbers.
8. The taxi driver was friendly. He took me to the airport.
- The taxi driver was friendly who took me to the airport.
EXERCISE 2 - ORAL
1. The book was good. I read it.
- The book that i read was good.
2. I liked the woman. I met her at the party last night.
- I liked the woman who i met at the party last nigh.
3. I liked the composition. You wrote it.
- I liked the composition which you wrote.
4. The people were very nice. We visited them yesterday.
- The people were very nice whom we visited yesterday.
EXERCISE 4 - ORAL
1. I apologized to the woman. I spilled her coffee.
- I apologized the woman whose i spilled coffee.
2. The man called the police. His wallet was stollen.
- The man called the police whose wallet was stollen.
3. I mer the woman. Her husband is the president of the corporation.
- I met the woman whose husband is the president of the corporation.
4. The professor is excellent. I am taking her course.
- The professor is excellent whose i taking course.
5. Mr. North teaches a class for students. Their native languange is not English.
- Mr. North teaches a class for students whose native languange is not English.
NPM : 26211260
Kelas : 3EB16
TUGAS SOFTSKILL Bahasa Inggris Bisnis 2
EXERCISE 1 - ORAL
1. I saw the man. He closed the door.
- I saw the man that closed the door.
2. the girl is happy. She won the race.
- The girl is happy whose won the race.
3. the student is from china. he sits next to me.
- the student which form china sits next to me.
4. the students are from china. they sit in the front row.
- the students which are from china sit in the front row.
5. we are studying sentences. They contain adjective clause.
- we are studying sentences that contain adjective clause.
6. I am using a sentence. It contain an adjective clause.
- i am using the sentence that contain an adjective clause.
7. Algebra problems contain letters. They stand for unknown numbers.
- Algebra problem contain letters that stand for unknown numbers.
8. The taxi driver was friendly. He took me to the airport.
- The taxi driver was friendly who took me to the airport.
EXERCISE 2 - ORAL
1. The book was good. I read it.
- The book that i read was good.
2. I liked the woman. I met her at the party last night.
- I liked the woman who i met at the party last nigh.
3. I liked the composition. You wrote it.
- I liked the composition which you wrote.
4. The people were very nice. We visited them yesterday.
- The people were very nice whom we visited yesterday.
EXERCISE 4 - ORAL
1. I apologized to the woman. I spilled her coffee.
- I apologized the woman whose i spilled coffee.
2. The man called the police. His wallet was stollen.
- The man called the police whose wallet was stollen.
3. I mer the woman. Her husband is the president of the corporation.
- I met the woman whose husband is the president of the corporation.
4. The professor is excellent. I am taking her course.
- The professor is excellent whose i taking course.
5. Mr. North teaches a class for students. Their native languange is not English.
- Mr. North teaches a class for students whose native languange is not English.
Rabu, 26 Maret 2014
TUGAS SOFTSKILL Bahasa Inggris Bisnis 2#
TUGAS SOFTSKILL Bahasa Inggris Bisnis 2#
Nama : Rioka Nefryangga Hidayat
Npm : 26211260
Kelas : 3EB16
Semen Indonesia aiming to expand to Myanmar in June
Publicly listed cement producer PT Semen Indonesia is moving closer to its plan to expand its business to Myanmar.
Semen Indonesia's president director, Dwi Soetjipto, said the company would be finalizing the acquisition of a local cement firm in June this year, Kontan.co.id reported on Tuesday.
"The value is the same as we previously announced, namely between US$200 million and $300 million," Dwi said after an annual general shareholders meeting in Jakarta.
The firm's finance director, Ahyanizzaman, said the firm was conducting due diligence regarding two cement producers in Myanmar.
He admitted that neither producer's production capacity was large; each averaged around 2 million tons of cement per year.
"If they are interesting, though, there's a good chance that we will acquire both of the companies," he said.
In the first stage, Semen Indonesia is likely to become a minor shareholder, as the firm will first want to witness the industrial market and political situation in the country.
The company will be seeking bank loans and issuing bonds if, in the end, they decide to acquire both producers.
"We have not yet decided which way we are going to take. Right now, we are concentrating on finishing the due diligence process," he said.
Terjemahan
Semen Indonesia bertujuan untuk memperluas ke Myanmar dalam Juni
Produsen semen publik PT Semen Indonesia bergerak lebih dekat ke rencana untuk mengembangkan usahanya ke Myanmar .
Direktur Utama Semen Indonesia, Dwi Soetjipto , mengatakan perusahaan akan menyelesaikan akuisisi perusahaan semen lokal pada bulan Juni tahun ini , Kontan.co.id melaporkan pada hari Selasa .
" Nilainya sama seperti yang kami umumkan sebelumnya , yaitu antara US $ 200 juta dan $ 300 juta, " kata Dwi setelah RUPS tahunan di Jakarta .
Direktur keuangan perusahaan , Ahyanizzaman , mengatakan perusahaan sedang melakukan uji tuntas mengenai dua produsen semen di Myanmar .
Dia mengakui bahwa kapasitas produksi tidaklah besar , masing-masing rata-rata sekitar 2 juta ton semen per tahun .
" Jika mereka tertarik , maka, ada kesempatan kita akan mendapatkan masing-masing perusahaan , " katanya .
Pada tahap pertama , Semen Indonesia kemungkinan akan menjadi pemegang saham minoritas , sebagai perusahaan pertama akan ingin menyaksikan pasar industri dan situasi politik di negara itu .
Perusahaan akan mencari pinjaman bank dan penerbitan obligasi jika , pada akhirnya , mereka memutuskan untuk memperoleh masing-masing produsen .
" Kami belum memutuskan arah mana kita akan mengambil . Saat ini , kami sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan proses uji tuntas , " katanya .
Source : http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/25/semen-indonesia-aiming-expand-myanmar-june.html
Nama : Rioka Nefryangga Hidayat
Npm : 26211260
Kelas : 3EB16
Semen Indonesia aiming to expand to Myanmar in June
Publicly listed cement producer PT Semen Indonesia is moving closer to its plan to expand its business to Myanmar.
Semen Indonesia's president director, Dwi Soetjipto, said the company would be finalizing the acquisition of a local cement firm in June this year, Kontan.co.id reported on Tuesday.
"The value is the same as we previously announced, namely between US$200 million and $300 million," Dwi said after an annual general shareholders meeting in Jakarta.
The firm's finance director, Ahyanizzaman, said the firm was conducting due diligence regarding two cement producers in Myanmar.
He admitted that neither producer's production capacity was large; each averaged around 2 million tons of cement per year.
"If they are interesting, though, there's a good chance that we will acquire both of the companies," he said.
In the first stage, Semen Indonesia is likely to become a minor shareholder, as the firm will first want to witness the industrial market and political situation in the country.
The company will be seeking bank loans and issuing bonds if, in the end, they decide to acquire both producers.
"We have not yet decided which way we are going to take. Right now, we are concentrating on finishing the due diligence process," he said.
Terjemahan
Semen Indonesia bertujuan untuk memperluas ke Myanmar dalam Juni
Produsen semen publik PT Semen Indonesia bergerak lebih dekat ke rencana untuk mengembangkan usahanya ke Myanmar .
Direktur Utama Semen Indonesia, Dwi Soetjipto , mengatakan perusahaan akan menyelesaikan akuisisi perusahaan semen lokal pada bulan Juni tahun ini , Kontan.co.id melaporkan pada hari Selasa .
" Nilainya sama seperti yang kami umumkan sebelumnya , yaitu antara US $ 200 juta dan $ 300 juta, " kata Dwi setelah RUPS tahunan di Jakarta .
Direktur keuangan perusahaan , Ahyanizzaman , mengatakan perusahaan sedang melakukan uji tuntas mengenai dua produsen semen di Myanmar .
Dia mengakui bahwa kapasitas produksi tidaklah besar , masing-masing rata-rata sekitar 2 juta ton semen per tahun .
" Jika mereka tertarik , maka, ada kesempatan kita akan mendapatkan masing-masing perusahaan , " katanya .
Pada tahap pertama , Semen Indonesia kemungkinan akan menjadi pemegang saham minoritas , sebagai perusahaan pertama akan ingin menyaksikan pasar industri dan situasi politik di negara itu .
Perusahaan akan mencari pinjaman bank dan penerbitan obligasi jika , pada akhirnya , mereka memutuskan untuk memperoleh masing-masing produsen .
" Kami belum memutuskan arah mana kita akan mengambil . Saat ini , kami sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan proses uji tuntas , " katanya .
Source : http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/25/semen-indonesia-aiming-expand-myanmar-june.html
Sabtu, 12 Januari 2013
LAPORAN KEUANGAN KOPERASI
LAPORAN KEUANGAN KOPERASI
"JAYA MANDIRI"
NAMA : RIOKA NEFRYANGGA HIDAYAT
KELAS : 2EB16
NPM : 26211260
Sabtu, 24 November 2012
Lambang Koperasi
Elemen-elemen lambang koperasi ini meliputi :
1. Singa :
- Melambangkan ketangguhan lembaga koperasi ini untuk dapat melewati tantangan di masa depan
2. Dasi dan Topi :
- Melambangkan bahwa lembaga ini akan melewati tantangan ke depannya dengan kepala dingin dan dengan pertimbangan yang pasti
3. Merah - Putih :
- Melambangkan lembaga ini mempunyai rasa kesatuan yang cinta akan tanah air
4. Slogan "Koperasi Solid" :
- Mempunyai arti bahwa koperasi ini akan solid antar sesama anggota dan akan membantu satu sama lain maupun itu anggota ataupun demi kesejrahteraan masyarakat
Rabu, 10 Oktober 2012
JURNAL PENELITIAN KOPERASI
MENGEMBANGKAN KONSEP BISNIS KOPERASI: Digali dari realitas masyarakat Indonesia
ABSTRAKSI
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif, yaitu Beyond Structuralism. Beyond Structuralism mensinergikan antropologi strukturalis sinkronis (kontekstual) dan postrukturalis diakronis (masa lalu). Metodologi dijalankan dengan metode Constructivist Structuralism-nya Pierre Bourdieu untuk mengetahui secara empiris (habitus, capital, field dan practice) aktivitas bisnis koperasi di Indonesia.
Tahap pertama, teoritisasi antropologis melalui sinergi antropologi sinkronis (realitas bisnis koperasi kontekstual) dan antropologi diakronis (realitas bisnis koperasi fase awal). Tahap kedua, melakukan sinergi keduanya untuk menemukan benang merah konsep kemandirian berbisnis koperasi secara empiris di lapangan Teoritisasi diperlukan untuk merumuskan Konsep Kemandirian Koperasi.
Hasilnya, konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement, dan strategic positioning berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi[1],[2]. Teknologi
informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat
globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin
membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis
Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan
ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme
saat inipun telah merasuki hapir seluruh sistem perekonomian Indonesia.
Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan
terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro
ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan
liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan
liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas
negara-negara[3].
Di sisi lain, Indonesia
setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap
mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang
dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4
dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran
di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau
neoliberalisme.
Kekeliruan
lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata
”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33
UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai
pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi
berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus
bernuansa liberalisme.
Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning”
sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama
anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk
kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus
koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?
Apakah
jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya
koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi
Indonesia[4] (Dekopin 2006)? Atau
dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri Negara Koperasi
dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas tahun
2009?
Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi
juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”,
diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan
mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi
teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan,
pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan
publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai
dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi),
sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior
(perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada
pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman
Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan,
Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional).
1.1. Permasalahan
Tetapi ternyata, seluruh ”treatment”
tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar
koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno (2002) bahwa ciri utama
perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga
pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti
koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) lembaga-lembaga pemerintah
dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; serta (3)
perusahaan negara maupun swasta berbentuk koperasi karyawan. Tiga pola
tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang,
kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya.
Masalah
kedua, koperasi, lanjut Soetrisno (2002) juga dikembangkan untuk
mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi yang
memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia[5].
Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban
kegagalan program. Sementara koperasi yang berswadaya praktis
tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media
massa. Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia
mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara
terbatas seperti disektor pertanian.
Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar ekonomi. Hatta
(1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai
utama, yaitu perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan[6].
Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan
menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka
yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan
perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya
adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam. Bentuk Ekonomi
versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya
mengingatkan kita bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan
menekankan mekanisme perdagangan (intermediasi), dan menganaktirikan
produksi (seperti bertani, pertambangan, berkebun, kerajinan, dan
lainnya) serta retail (berdagang eceran). Ekonomi Natural
dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi, sekaligus
pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan
akuntabilitas kepada Allah SWT.
Keempat,
data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari
(2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan,
koperasi pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi
tertentu baik pemerintah maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas
membatasi keanggotaan dan memiliki sifat stelsel pasif. Biasanya
koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi intermediasi untuk memenuhi
kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama,
dan lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinasi. Misal koperasi karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi kebutuhan
penyediaan bahan-bahan produksi PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006)
bentuk koperasi fungsional sangat mungkin bertentangan dengan tiga
prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu keanggotaan sukarela dan terbuka.
Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang demokratis. Ketiga,
Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen.
Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di atas berdampak pada hilangnya sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut Prahalad dan Hamel (1990) sebagai kompetensi inti (core competencies).
Bisnis koperasi selama ini tidak dapat mengidentifikasi keunikan
dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi – hanya dapat
melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis, core competencies merupakan “jantung” organisasi atau perusahaan, sedangkan produk merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai tambah organisasi bisnis. Core competencies
perlu didesain melalui kejelasan visi dan misi organisasi. Sehingga
konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis, produk sampai
sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies.
Berdasarkan
beberapa masalah di atas penelitian ini mencoba untuk menjawab
pertanyaan, apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki kreasi
pemberdayaannya sendiri, otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas
ekonominya, dan memiliki core competence-nya sendiri? Penelitian
ini akan membahas bagaimana mengembangkan koperasi yang sebenarnya dari
realitas masyarakat Indonesia. Pengembangan koperasi di sini tidak
menolak proyek-proyek prestisius untuk kemajuan koperasi. Idealisme
koperasi seperti itu harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu
semangat agar koperasi tetap memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Tetapi perlu diingat, koperasi harus tetap sesuai jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International Co-operation Association (ICA) bahwa koperasi akan menjadi yang terbaik bila mereka menjadi dirinya sendiri.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, menggali konsep-konsep genuine berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuine
berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala
Indonesia; ketiga, menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat
Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi;
keempat, memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan
perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.
1.3. Struktur Isi Artikel
Artikel
disusun dalam 6 bagian utama. Bagian pertama, pendahuluan, terutama
menjelaskan tentang latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan
struktur isi artikel. Bagian kedua dan ketiga merupakan penjelasan teori
yang digunakan. Bagian kedua menjelaskan mengenai koperasi sebagai
operasionalisasi ekonomi rakyat. Bagian ketiga menjelaskan mengenai
konsep core competencies bisnis. Bagian keempat menjelaskan mengenai metodologi
penelitian dan metode yang digunakan untuk melakukan pengembangan
konsep bisnis koperasi. Bagian kelima adalah pembahasan temuan
penelitian. Bagian keenam catatan akhir dan agenda ke depan.
2. KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman
(2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan
pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu
perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan
manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan
pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada
pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan
budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial
dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto
(2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada
teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam
ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru
menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang
menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang
semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat
Indonesia dewasa ini.
Logika
modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan
pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara
kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal
ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi
realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere)
baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi
tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya.
Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti
publik, sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam
pemaknaan struktur makro.
Hanya
masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme
dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi
konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu.
Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh
sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho
(2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan
bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere.
Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga
sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan
digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere,
seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan
neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara
perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan
usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan
konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga
masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan
anggota masyarakat.
Bentuk
Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas
dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan
memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau
bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah
didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat
dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut
memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi
rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah
aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala
Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan.
Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi
operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state”
adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1)
bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak,
(2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan
menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi
politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti
feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas,
menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”,
yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan
tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat
proses transformasi sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju
pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki
kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.
3. CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies) sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies).
Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang
menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah
kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi
ilmiah).
Hamel
dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu
memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk
pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk
dan jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan
mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan
kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan
sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam
jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif
perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan
yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu
menekankan pada differential advantage. Berikut penjelasannya:
…are all
converging on similar and formidable standards for product cost and
quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less
important as sources of differential advantage.
Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan:
Management ability to consolidate corporatewide
technologies and production skills into competencies that empower
individual business to adapt quickly to changing opportunities.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama,
dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki
perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang
dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang
kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat
organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis
tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.
4. METODOLOGI PENELITIAN: BEYOND STRUKTURALISM
Pengembangan bisnis koperasi dalam penelitian ini menggunakan metodologi Beyond Strukturalism, diadaptasi dari metodologi Hiperstrukturalisme yang dikembangkan Mulawarman (2006). Beyond Strukturalism
memiliki dua tahapan, pertama, pengembangan metodologi, dan kedua,
penerapannya berbentuk metode penelitian. Suriasumantri (1985, 328)
menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah “pengetahuan tentang
metode” yang dipergunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut
pengembangan metodologi dalam penelitian ini merupakan proses
pendefinisian, penjelasan, dan pembuatan kerangka umum dari metode yang
akan digunakan.
Salah
satu yang harus ditentukan pada metodologi penelitian adalah metode dan
tujuan penelitian (Suriasumantri 1985, 328). Setelah dilakukan
pengembangan metodologi penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan
kerangka umum metode dalam prosedur penelitian secara eksplisit dan
sistematis. Metode sendiri menurut Senn dalam Suriasumantri (1985, 119)
merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan di sini
adalah penyusunan prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap
pertama.
4.1. Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi
Beyond Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme dan postrukturalisme. Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami interkoneksi unsur-unsur
pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun
di balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsur-unsur realitas;
dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara sinkronis
di lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan
antar waktu).
Postrukturalisme digunakan untuk melampaui strukturalisme dalam melihat realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing), jejak (trace), perbedaan sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil penundaan (arche-writing).
Postrukturalisme juga melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas
melalui konteks integasi sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud
adalah penggalian antropologis tidak hanya berdasarkan rentang waktu
yang sama (sinkronis) tetapi juga perkembangan antar waktu (diakronis).
Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan saling silang makna
aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis) maupun masa lampau
seperti ide koperasi dari Hatta (diakronis).
4.2. Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai Turunan Metodologi
Metode
penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme dan Postrukturalisme.
Ekstensi merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara
empiris di lapangan. Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism (Wainwright 2000) versi Bourdieu (1977; 1989).
Constructivist Structuralism (selanjutnya disingkat CS) selalu menginginkan titik temu teori dan praktik yang mungkin (Mahar et al. 2005) melibatkan field (ruang sosial) dan habitus (perilaku individu tanpa sadar) (Bourdieu 1977). Unsur penting CS bahwa tiap individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field) sekaligus dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992).
Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice)
tidak semata-mata menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi
kerangka pikir dan menterjemah dalam perilaku individu (Bourdieu dan
Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10). Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus
merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan
pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus
(disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil
sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah,
seakan-akan terberi alam.
Proses rekonstruksi bisnis koperasi melalui “ekstensi” Constructivist Structuralism dilakukan melalui habitus, field, capital dan practice. Artinya, fase ini merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai yang dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus) secara material-batin-spiritual.
Proses
penelitian dilakukan, pertama, penggalian data tertulis baik akademis
maupun kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara dan
pendalaman makna dan simbol dari informan yang melakukan aktivitas
bisnis koperasinya. Informan penelitian yaitu, pertama, Pak Sulaiman,
salah satu reporter PIP; kedua, Pak Naryo, pengurus Dekopinda salah satu
kota di Jawa Timur; Pak Aris, pengurus koperasi primer di Kediri;
keempat, Pak Rahmat pengurus BMT di salah satu kota Jawa Tengah; kelima,
Pak Budiman manajer salah satu koperasi serba usaha di Jawa Timur.
Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktivitas manusia (Ritzer 2003). Struktur
sebagai “sebuah unit yang tersusun dari beberapa elemen dan selalu
memiliki hubungan dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit tidak
bisa dipecah dalam elemen-elemen tunggal.” (Spivak 1974; dalam Ritzer
2003, 51).
SUMBER :
Postrukturalisme
merupakan antitesis strukturalisme. Derrida menjelaskan bahwa selalu
ada suatu realitas bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu
tersembunyi di balik kehadiran sesuatu. Ia adalah realitas dan hubungan
dalam realitas (Ritzer 2003, 204).
5. PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran
substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis
dan melakukan sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan
pendalaman aspek antropologis pikiran ekonomi koperasi dan
penerjemahannya di lapangan masa pra kemerdekaan sampai kemerdekaan
(mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta menjadi Wapres).
Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis
beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi
diakronis dan sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus
substansi konsep koperasi.
5.1. Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya
berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990; Tambunan
2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990)
mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan
usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai
dengan iklim lingkungannya. Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang konsumsi, penyediaan barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896),
mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat
Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga.
Sarekat Islam lebih konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak di
bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka took-toko koperasi.
Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918
di Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional
Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan
kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera
harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya
dan di Indonesia pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan
1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah
Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang
produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang
diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan
perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial politik
sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh
karenanya Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi
atau menghambat perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915
diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya
pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk
Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933
yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915,.
Pada
masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal
menjadi istilah “Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala
tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan
peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan berdirinya
“Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan
distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena
situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir,
minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah
pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai
penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi
yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar
menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat
kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian
ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan rumusan
perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi
di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pada
akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan
tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah
Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian.
Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI
berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan
jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada
tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang
pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain
terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat
SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta
menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus,
pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin
pesat.
Setelah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program
Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.
Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas,
koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun
usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953
dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada
tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres
Koperasi III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping berkaitan
kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dekopin
dengan ICA.
Pada
tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun
1958. UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal
27 Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan
dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan
Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun Bangsa
Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
5.2. Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi diakronis terekam dalam practice realitas field
sinkronis masyarakat koperasi Indonesia. Realitas koperasi saat ini
ternyata memunculkan pemahaman koperasi yang bias. Penelusuran sinkronis
dilakukan misalnya dari practice Pak Sulaiman, Pak Naryo, Pak Aris, Pak Rahmat dan Pak Budiman.
Pak
Sulaiman misalnya menjelaskan bahwa pemahaman mengenai gerakan koperasi
saat ini lebih bermakna mendapatkan kredit atau pembiayaan. Berikut
ungkapan Pak Sulaiman:
La
gimana, saya hampir tiap hari di telpon, di sms, intinya ya itu, apakah
kalau saya ikut koperasi bisa dapat dana modal kerja, bisa dapat
kredit?
Persepsi seperti dijelaskan Pak Sulaiman dengan pandangan yang agak berbeda dijelaskan Pak Aris, meskipun intinya sama:
Karena
pengalaman dulu itu, sekarang gak apalah, tapi yang penting itu ya cari
dana-dana bantuan pusat. Sekarang saya mau menghidupkan koperasi saya
yang mati suri, ya itu karena dikemplang manajer. Anggotanya juga gitu,
sudah dibantu malah ngemplang. Dulu sih bisa aja agak idealis
ngembangkan koperasi untuk kepentingan anggota. Sudah ikhlas, anggota
dibantu, tahun 1993 dapat proyek pengembangan mikrolet. Sudah
didistribusikan ke anggota, eh sampai tahun 1995 mereka malah gak
setor-setor. Ya macet. Tahun 1995 dapat proyek penggemukan sapi. Kita
sudah semangat, tapi setelah masa pengambilan oleh pengurus pusat
koperasi di Surabaya, mereka gak ngambil-ngambil sampe 3 bulan. Sudah
gitu, setelah mereka ngambil malah kita gak diberi kompensasi sesuai
perjanjian, yang ada cuma uang muka bantuan pribadi mereka, dan sampai
sekarang yang gak tau juntrungnya. Tahun 1997 dapat proyek lagi untuk
distribusi beras ke pondok-pondok. Semuanya berjalan lancar, eh manajer
malah bermain sama gudang dolog, ya wis yang kaya malah manajernya.
Dari
ungkapan Pak Sulaiman dan Pak Aris itu dapat dilihat bahwa koperasi
sekarang sudah sedemikian rupa terkooptasi oleh program manja dari
pemerintah. Artinya, mereka hanya berharap bahwa dengan ikut koperasi
itu ya dapat uang, dapat pinjaman, dapat modal. Pengalaman Pak Aris juga
menempa dirinya untuk bersifat pragmatis, bahwa program koperasi itu
tidak bisa bergerak lebih jauh dari itu. Kalaupun dapat dikembangkan,
yang mungkin adalah pengembangan koperasi yang “masih” bersifat
intermediasi.
Hal
itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat ini. Lembaga Keuangan
Mikro, Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi karyawan
dengan model swalayan atau retail. Pak Rahmat misalnya, salah seorang
pengurus BMT di Wonosobo mengatakan:
Masyarakat
sekarang masih membutuhkan dana untuk menjalankan bisnisnya. Kita ini
kan memang mencoba membantu mengentaskan mereka dari jebakan rentenir
pasar.
Pernyataan yang mirip dengan bahasa lebih teknis dari Pak Budiman:
Rentenir: Pedagang
pasar meminjam dana Rp 100.000,00 dari rentenir. Pedagang pasar
menerima dana pinjaman Rp 90.000,00, sedangkan Rp 10.000,00 langsung
dipotong di awal. Sisa pinjaman Rp 90.000,00 dicicil @ Rp 5.000,00
selama 24 hari.
Qardhul hasan: Pedagang
pasar meminjam dana Rp 100.000,00 dari BMT. Pedagang pasar menerima
dana pinjaman Rp 100.000,00 dan harus dikembalikan 24 hari kemudian
sejumlah Rp 100.000,00. Pedagang pasar dipersilakan berbuat baik
(hassan) dengan memberi lebih dari dana pinjamannya secara ikhlas.
Masyarakat
kita sekarang masih diproyeksikan pada tataran itu. Tetapi ketika
diupayakan menjadi lebih berorientasi produktif, koperasi malah merasa
belum siap. Padahal sumber daya alam Indonesia penuh dengan sumber daya
untuk memajukan tradisi produktif. Apalagi bila mau dikembangkan ke arah
produktif. Hal tersebut sangat sulit dikembangkan. Berikut komentar Pak
Naryo:
Koperasi
mengelola produksi gas di Gresik? La itu kan digarap oleh perusahaan
asing. Mana mungkin?…kita kan tidak punya keahlian untuk itu…
Beliau
seperti tidak pernah berpikir ke arah produktif, karena beliau
menganggap koperasi tidak bergerak dengan skala besar atau produktif.
Persepsi bahwa koperasi hanyalah subordinasi dari perusahaan besar dan
tidak memiliki keahlian jelas terungkap secara implisit di situ.
Pesimisme
tersebut sebenarnya juga tidak terlalu signifikan. Penggerak koperasi
ternyata masih memiliki semangat. Seperti ungkapan Pak Sulaiman:
Pengurus
koperasi sekarang banyak yang sudah tua, jadi gak bisa diajak
progresif. Diajak berinovasi. Mungkin kita yang muda ini perlu
kemandirian, kalau perlu harus bergerak lebih mandiri. Kenapa koperasi
mesti harus terikat kepentingan pemerintah? Ya kalau mau bantu
pemerintah itu wajiblah. Tapi kita perlu punya ide sendiri. Yang bagus
itu kan seperti kelompok usaha bersama nelayan. Mereka punya ide
sendiri, tidak berbentuk koperasi awalnya, tapi mereka memiliki
kesadaran untuk berkumpul. Koperasi Sae Pujon juga bagus, yang produktif
seperti itu…Yang penting ya gotong dan kekeluargaan yang sebenarnya… pemberdayaan dari bawah yang sebenarnya.
Pengembangan
koperasi menurut Pak Sulaiman di atas jelas sekali perlu dikembangkan
dari bawah, bukan intervensi atau menjadi subordinasi dari kepentingan
tertentu. Pemerintah dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting movement.
Keberadaan perusahaan pun sebenarnya bukan mengkreasi koperasi menjadi
subordinat. Perlu adanya kesetaraan. Di samping itu yang menarik adalah
membentuk karakter kekeluargaan dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual. Diperlukan penggalian lebih jauh konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi berbasis ekonomi rakyat.
5.3. Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa kemerdekaan terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan (practice) koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital).
Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif
dan kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat
dari koperasi di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi
Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti
ini akhirnya tidak berjalan lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah kepentingan produktif. Misalnya
gerakan koperasi fenomenal Muhammadiyah berkenaan produksi batik.
Bahkan gerakan koperasi produktif sangat kuat dan bertahan lebih lama
dari gerakan intermediasi, karena memiliki kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut oleh Prahalad dan Hamel (1990) sebagai core competencies.
Hanya perbedaannya, kompetensi inti versi Prahalad dan Hamel (1990)
berorientasi pada kepentingan individual, sedangkan kompetensi inti
koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada karakter koperasi
Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan
situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru
pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi.
Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies
koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah,
dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis
produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila dirujuk pada
konsep bisnis core competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah
kehilangan sense untuk mengembangkan core competencies, dan hanya dapat
mengembangkan core product saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh tereduksi pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core product yang lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara gradual dan menurun.
Menjadi benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect
pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional.
Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan
sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk
subordinasi bagi Usaha Besar.
Pesona
statistik menurut Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan
patokan tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di
Indonesia secara kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan
kebanyakan negara manapun di dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi
berkoperasi yang telah mengakar kuat tak sedikit yang mengarah pada
trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini. Mengacu pada
data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat tahun terakhir,
dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123
ribu unit pada 2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006).
Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak
cendawan di musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat
masih terus meningkat dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian
mereka melalui koperasi.
Tetapi
kenyataannya, kita, lanjut Islamingi dan Priono (2006) juga harus
berlapang dada menerima kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta,
koperasi belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian
nasional. Sumbangan yang sangat kecil terhadap produk domestik bruto
(PDB) memperlihatkan wajah lain dari perkembangan koperasi di Indonesia.
Belum suksesnya Indonesia dalam mengembangkan perekonomian di tingkat
pedesaaan yang mengakibatkan tidak berkembangnya ekonomi rakyat,
merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan wadah koperasi sebagai
penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan dalam zona
sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang
tidak sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di
Indonesia kurang optimal dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya banyak keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi doxa dan symbolic violence
juga dapat muncul dari Visi Membangun Koperasi Berkualitas. Maka
diingatkan oleh Sularso (2006) bahwa jika 70,000 koperasi berkualitas
ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi
berkualitas terdongkrak mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi
dilakukan dengan memfasilitasi koperasi-koperasi yang mempunyai potensi
untuk meningkatkan kualitasnya. Tetapi jika intervensi tersebut tidak
tersambut dengan potensi internal yang tumbuh, maka tidak akan
bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi
pemerintah mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan
kehilangan keswadayaan dan otonominya. Atau melakukan rekayasa
pernilaian dengan menurunkan kadar kriterianya sehingga lebih banyak
koperasi yang bisa masuk kategori berkualitas. Intervensi pemerintah
belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan rekayasa
kriteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang
kualitasnya dibawah standar. Koperasi- nya sendiri tidak bergerak untuk
meningkatkan kualitasnya.
Lebih
lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya pencapaian target
pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang
memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari
formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya
mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi
terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi
dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik,
pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan
kecenderungan gerak koperasi sekarang juga kembali ke logika awal
pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di Indonesia, fungsi
intermediasi. Hal ini terlihat dari makin menjamurnya
Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam. Perkembangan yang
juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang bergerak di bidang
retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secara sporadis banyak
memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi kecenderungan terus menurun.
Peraturan
Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu
berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun
1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan
PeraturanPerkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan
Timur Asing.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930
menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat. Jikalau
pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939 jumlahnya
menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848
orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari
574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi adalah koperasi yang
bergerak dibidang simpan-pinjam sedangkan selebihnya adalah koperasi
jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam
tersebut diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.
Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian
yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam
pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan
daripada BUMN dan Swasta.
Terjadinya
agresi I dan II Belanda terhadap Indonesia serta pemberontakan PKI di
Madiun 1948 banyak merugikan gerakan koperasi. Tahun 1949 diterbitkan
Peraturan Perkoperasian. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah
Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir
sama dengan Peraturan Koperasi Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana
ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Indonesia sehingga tidak
memberikan dampak berarti bagi perkembangan koperasi.
Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka DPR berkaitan program
perekonomian. Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet
Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri
dari tiga bagian, yaitu usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan
sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi; usaha lanjutan dari
perkembangan gerakan koperasi; mengurus perusahaan rakyat yang dapat
diselenggarakan atas dasar koperasi. Usaha tersebut dilanjutkan Kabinet
Ali Sastroamidjodjo
Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan
mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan
yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera
diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung
Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Meskipun
gerakan koperasi batik kemudian banyak mengalami kendala. Penjelasan
yang mungkin adalah pemberdayaan koperasi ketika bertemu dengan
kepentingan kapitalistik, maka gerakan koperasi menjadi melemah.
Buktinya, gerakan koperasi batik pernah mengalami kejayaan dan
menggurita menjadi holding company, tetapi lupa pada akar tradisi habitus perbatikan, yaitu kesejahteraan anggota secara luas dan empati sosial lingkungannya.
6. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan
sinergi produktif-intermediasi-retail merupakan substansi pengembangan
koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun
perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan
subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannya intervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling
penting adalah menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekononomi
koperasi berbasis pada sinergi produktif-intermediasi-retail sesuai
Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi produktif-intermediasi-retail harus
dijalankan dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya,
pengembangan keunggulan perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan
produk harus dilandasi pada prinsip kekeluargaan. Individualitas anggota
koperasi diperlukan tetapi, soliditas organisasi hanya bisa dijalankan
ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
Agenda mendesak. Pertama, menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan. Sebagai komparasi mungkin diperlukan parameter usulan Prahalad dan Hamel (1990) untuk mengidentifikasi kompetensi inti kekeluargaan versi koperasi. Kompetensi
inti memang berasal dari sumber daya dan kemampuan organisasi, namun
tidak semua sumber daya dan kemampuan merupakan kompetensi inti. Meskipun
tidak menutup kemungkinan adanya perluasan (ekstensi) model tiga
parameter tersebut. Kedua, diperlukan pemacu bentuk koperasi secara
seimbang. Koperasi produktif perlu digalakkan, sehingga kualitas, enterpreneurship, kemandirian, jumlah dan keanggotaannya memiliki keseimbangan
dengan bentuk koperasi lain, seperti koperasi fungsional, koperasi
retail maupun jasa (intermediasi). Bagi koperasi produktif lama perlu
kebijakan mendesak untuk pemberdayaan agar tidak terjadi deklinasi
usaha. Perlu juga menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru koperasi di
bidang produktif, seperti pertambangan, energi, industri, otomotif,
industri keperluan rumah tangga (sabun, sikat gigi, pasta gigi, shampoo,
dll), teknologi pertanian, dll.
Agenda menengah. Beberapa tahun ke depan perlu merancang pemberdayaan koperasi yang lebih mandiri. Artinya, saatnya memikirkan lebih konkrit mekanisme yang menyentuh langsung pada sektor riil. Beberapa hal dapat dilakukan, pertama, menemukan formulasi mikro ekonomi untuk semua. Mekanisme gotong-royong bukan hanya sebagai bentuk idealisme,
tetapi perlu dielaborasi lebih jauh sebagai inti pendekatan mikro yang
berdampak pada ekonomi makro. Kedua, menemukan dari bawah mekanisme
berdagang, berinvestasi, produksi dan melakukan pemasaran bagi ekonomi
rakyat secara luas dan berkeadilan. Ketiga, mengembangkan akhlak bisnis
ekonomi rakyat berbasis kekeluargaan ala Indonesia. Keempat, menggali
dan mengangkat kearifan lokal dalam berekonomi. Konsekuensinya adalah
menelusuri mekanisme manajemen, administrasi dan keuangan/akuntansi
ekonomi rakyat sesuai realitas Ke-Indonesia-an. Kelima, mensinergikan mikro dan makro ekonomi atas dasar kepentingan ekonomi, sosial, lingkungan untuk semua
Agenda jangka panjang.
Kenyataan program-program bersifat pembiayaan, akses perbankan, aspek
teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi; pemberdayaan, profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya masih berkaitan dengan anthropocentric oriented. Demikian
pula perjuangan ekonomi kerakyatan berbasis sosial, berbasis masyarakat
Indonesia, perluasan bentuk demokrasi ekonomi semua juga tidak lepas
dari nuansa sosialisme model baru yang juga tetap berpola materialism and anthropocentric oriented.
Atau
lebih jauh dari itu semua, apakah prioritas pemberdayaan dan penguatan
ekonomi rakyat bukan hanya “materialism and anthropocentric oriented”? Bila
kita angkat pada hal yang lebih normatif, bentuk pemberdayaan terbatas
pada materialitas, kepentingan ego manusia, baik pribadi maupun kelompok
mungkin tidak layak lagi dikumandangkan. Pemberdayaan holistik baik
materialitas, egoisme diri, sosial harus dikembangkan dan diperluas
lebih jauh. Bahkan harusnya juga melampaui itu semua (Mulawarman 2007).
Ditegaskan
Mulawarman (2007) bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya
sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia.
Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat
Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial,
ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat
martabat manusia berke-Tuhan-an. Keluar dari Materialisme Ekonomi versi
Amerika juga seharusnya tidak serta merta menyetujui antitesisnya
seperti Marxisme, atau yang lebih “soft” misalnya gerakan Materialisme Sosialis maupun Sosialisme Baru. Menjadi
benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme menuju
sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda.
Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi
kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.” Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company yang
menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau
apapunlah. Ekonomi rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada
kepentingan jangka panjang, Jalan Tuhan. Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Sritua. 1995. Dialektika Hubungan Ekonomi Indonesia dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. KELOLA. No. 10/IV. hal 29-42.
Bourdieu, Pieree. 1977. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre. 1989. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge-MA: Harvard University Press.
Bourdieu, Pierre, Loic JD. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflective Sociology. The University of Chicago Press.
Capra, Fritjof. 2003. The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living. Flamingo.
Dekopin. 2006. Program Aksi Dekopin. Jakarta.
Hamel, G. and Prahalad, C. K. 1989, Strategic Intent. Harvard Business Rewiew, Vol. 67, No. 3.
Hamel, G. and Prahalad, C. K. 1994. Competing for the Future. Harvard Business School Press
Hatta, Mohammad. 1947. Penundjuk Bagi Rakjat Dalam Hal Ekonomi: Teori dan Praktek. Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakjat. Jakarta.
Ismangil, W. Priono. 2006. Menumbuhkan Kewirausahaan Koperasi Melalui Pengembangan Unit Usaha yang Fleksibel dan Independen. Infokop. 29-XXII. Hal 72-76.
Jauhari, Hasan. 2006. Mewujudkan 70.000 Koperasi Berkualitas. Infokop. No 28-XXII. Hal.1-9.
Masngudi. 1990. Penelitian tentang Sejarah Perkembangan Koperasi di Indonesia. Badan Penelitian Pengembangan Koperasi. Departemen Koperasi. Jakarta.
Mubyarto. 2002. Ekonomi Kerakyatan dalam era globalisasi. Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun I No. 7. September.
Mubyarto. 2003.Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th. II. No. 4. Juli.
Mulawarman. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Mulawarman. 2007. Melampaui Pilihan Keberpihakan: Pada UMKM atau Ekonomi Rakyat? Makalah Seminar Regional Tinjauan Kritis RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, oleh Puskopsyah BMT Wonosobo, tanggal 28 Agustus 2007.
Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Pustaka Pelajar. Jogjakarta.
Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review. May-June. pp 1-12.
Ritzer, G. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan. Kreasi Wacana-Juxtapose. Yogyakarta.
Sarman, Rohmat. 2007. Ekonomi Kerakyatan: Introspeksi eksistensi pembangunan ekonomi? download internet 23 Agustus.
Shutt, Harry. 2005. Runtuhnya Kapitalisme. Terjemahan. Teraju. Jakarta.
Soetrisno, Noer. 2002. Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th II No. 5 Agustus.
Soetrisno, Noer. 2003. Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia dan Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat.
Stiglitz, Joseph E.. 2006. Dekade Keserakahan : Era 90’an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Terjemahan. Penerbit Marjin Kiri. Tangerang.
Sularso. 2006. Membangun Koperasi Berkualitas: Pendekatan Substansial. Infokop Nomor 28-XXII. Hal 10-18.
Takwin,
Bagus. 2005. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul
Masyarakat, Melampaui Opisisi Biner dalam Ilmu Sosial. Kata Pengantar
dalam (Habitus x Modal) + Field = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Terjemahan. Jalasutra. Jogjakarta.
Tambunan,
Tulus. 2007. Prospek Koperasi Pengusaha dan Petani di Indonesia Dalam
Tekanan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan Dunia. Hasil Penelitian. Kerjasama Kadin Indonesia dan Pusat Studi Industri & UKM Universitas Trisakti. Jakarta.
Tjokroaminoto, HOS. 1950. Islam dan Socialism. Bulan Bintang. Jakarta.
Wainwright, Steven P. 2000. For Bourdieu in Realist Social Science. Cambridge Realist Workshop 10th Anniversary Reunion Conference. Cambridge, May.
http://ajidedim.wordpress.com/
Langganan:
Postingan (Atom)