Jumat, 05 Oktober 2012

Tugas Ekonomi Koperasi

MASALAH JURNAL MENGENAI KOPERASI 
 
Angin Segar Reformasi

Ketika reformasi bergulir, Inpres No.4 tahun 1984, langsung mendapat sorotan. Suara untuk mencabut Inpres tersebut kuat didengungkan. Walaupun, Menteri Koperasi pada awal Reformasi langsung membuka kran berdirinya koperasi baru selain KUD di tingkat perdesaan. Kebijakan itu, bahkan mendahului Inpres No.18 tahun 1998.Koperasi Kredit misalnya, yang sebelumnya harus tiarap dari hambatan kebijakan salah kaprah Inpres No.4 tahun 1984 kemudian ramai-ramai menuntut badan hukum. Induk Koperasi Kredit yang dahulu harus melakukan kamuflase dengan nama Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) segera mengajukan Badan Hukum yang kemudian disetujui hanya dalam waktu beberapa hari.Keluarnya Badan Hukum sekunder tingkat Nasional dari Koperasi Kredit ini langsung menyemangati perjuangan koperasi kredit di tingkat primer untuk segera memperoleh badan hukum. Maklum, selama berlakunnya Inpres No.4, sejumlah koperasi kredit harus tiarap melakukan operasi kredit uniom secara diam-diam. Mereka melakukan harus main “kucing-kuncingan” dengan pejabat untuk menghindari “paksaan” masuk menjadi KUD.Inpres No.18 tahun 1999 menjadi angin segar bagi koperasi-koperasi yang semula tiarap dalam bentuk kelompok usaha bersama ataupun koperasi tanpa perduli dengan badan hukum. Di motori oleh sejumlah LSM yang selama ini menjadi pendamping kelompok-kelompok tersebut, kemudian tumbuh subur koperasi yang juga menjadikan perdesaan sebagai basis binaan.Bersamaan dengan itu, KUD yang selama ini mendapat fasilitas yang luar biasa dari pemerintah, mulai pengadaan pupuk, distribusi saprotan, sampai pengamanan stok pangan perlahan-lahan rontok. Distribusi fasilitas ke hampir semua koperasi, tidak perduli KUD atau bukan tentu saja mengurangi jatah KUD. KUD yang banyak tergantung kepada fasilitas pemerintah selama ini, lama-lama mulai kehilangan pamor.Apalagi, kemudian tumbuhnya koperasi pasca Inpres 18 tahun 1998, seperti tanpa kendali dan pengawasan. Perhatian pemerintah dan fasilitas yang dikucurkan memunculkan pula masalah baru. Mudahnya masyarakat memperoleh badan hukum koperasi, mendorong pihak-pihak yang juga ingin memanfaatkan kesempatan tersebut.Lahir kemudian koperasi-koperasi “merpati”. Koperasi yang tumbuh hanya ingin memanfaatkan fasilitas dari pemerintah. Padahal, syarat-syarat kelayakan usaha maupun kelembagaan sebagai entitas perusahaan dengan ciri khas yang bertumpu pada pelayanan anggota tidak memenuhi syarat. Hal ini diperparah oleh pejabat daerah yang semakin tidak memahami jati diri koperasi. “Pokoknya, yang penting ada 20 orang mengajukan badan hukum dan modal ala kadarnya, maka keluarlah badan hukum koperasi,” ujar Moh. Azazi, Sekretaris BPKH Dekopin Pusat.Beroperasinya koperasi “jadi-jadian” semakin runyam ketika mereka memasuki bisnis atau jasa keuangan alias simpan pinjam. Minimnya aturan hukum dan lemahnya pengawasan pemerintah dimanfaatkan benar oleh rentenir berkedok koperasi ini. Mereka mengiming-imingi masyarakat jasa atau bunga simpanan yang besar, setelah dana masyarakat terkumpul, pengurus atau pengelolah pun lari meninggalkan masalah. Kasus KSU Milik Bersama di Makassar, Kospin Pinrang di Sulawesi Selatan, KSU Merdeka masih di Makassar, KSP 013 Penjaringan Jakarta Utara, dan masih banyak lagi koperasi simpan pinjam membawa kabur uang anggota.Lemahnya, pengawasan pemerintah, membuat orang mencari-cari sebab. Orang pun menuding Inpres 18 Th 1999 sebagai biang kerok. Padahal, kalau dicermati, hampir semua instrukri dalam Inpres tersebut justru memberi keuntungan bagi koperasi (lihat boks Intruksi). “Inpres 18 Th 1999 justru memperkuat koperasi,” ujar Azazi.

Sumber:
http://dekopin.coop/berita/detail/27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar